Selasa, 17 November 2009

Jalan Cinta Punggawa Keuangan Negara

Ariesca Kamajaya Suryaman
17 November 2009/ 30 Dzulqo’idah 1430 H


       Alhamdulillahi robbil ‘alamin, mungkin tiada kata yang dapat mengungkapkan rasa syukur kita kepada Robbul Izzati atas segala limpahan Rahmatnya yang diberikan kepada kita semua.

       Sebuah rangkaian pilihan dan perjuangan telah kita hadapi bersama dengan segala lika-liku kehidupan dan berbagai macam tantangan dan rintangan yang menjadi pembelajaran bagi para pejuang di jalan Cinta Nya sehingga lebih memahami makan kehidupan, menjadikannnya menjadi seseorang yang lebih arif dan bijaksana serta dewasa dalam menjawab berbagai persoalan hidup.

      Perjuangan untuk dapat bertahan di kampus kita tercinta, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara bukanlah suatu hal yang mudah. Butuh banyak pengorbanan untuk mewujudkan sebuah harapan dan cita-cita masa depan yang telah kita gantungkan di tiang-tiang kehidupan kita. Pengorbanan yang lebih dari sekadar pengorbanan materi, pengorbanan yang menuntut kesungguhan, kerja keras, dan semangat pantang menyerah melawan arus zaman yang sering melenakan dan membuat lalai. Tak sedikit saudara-saudara kita terbuai hingga jatuh dan berguguran di jalan yang kita tapaki bersama. Maka berbahagialah saudara-saudariku. Kitalah orang-orang yang termasuk juara dalam kompetisi ini. Kitalah yang dapat bertahan sampai saat ini dan sudah selayaknya syukur kita lakukan mengahrap mardhotillah (keridhoan Alloh).

         Syukur, salah satu bentuk ungkapan terimakasih kita kepada Alloh. Syukur juga merupakan sebuah pengakuan bahwa kebaikan yang kita terima tidak lain dan iya benar adalah dating hanya dari Alloh Maha Pemberi Rizki. Begitu banyaknya nikmat Alloh yang di karuniakan kepada hamba Nya dan bahkan sebuah janji indah teroreh dalam Al-Quran.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Qs. 14:7)

Semoga Alloh senantiasa menambahkan nikmat Nya dan menjaga kita dalam menyongsong sebuah dunia baru.

          Dunia baru, mungkin kata itu yang tepat untuk mewakili marhalah (tahapan) kehidupan yang akan kita hadapi berikutnya. Dunia baru, dunia kerja, dunia yang mungkin masih asing bagi kita karena ia adalah dunia empat dimensi yang penuh dengan dinamika dan keheterogenan karakter dan sifat para penghuninya serta lingkungannya yang mungkin akan sangat berbeda dari bi’ah (lingkungan) kampus yang kita rasakan selama ini.

Tentu kita berharap dapat ditempatkan di instansi yang kita cita-citakan selama ini. Ghirah (semangat) kerja kita mungkin akan tinggi dalam profesionalitas berkerja jika berkerja di tempat yang cocok dengan jiwa kita, keinginan kita. Tapi Alloh lah yang lebih mengetahui segala sesuatu yang terbaik bagi kita. Seperti dalam firman Alloh S.w.t.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.s. 2; 216)

Seperti yang sudah sering kita dengar dari parapendahulu kita, lingkungan kerja tidaklah sama dengan lingkungan kampus. Idealisme yang kita pupuk selama menjadi mahasiswa akan di uji di sini. Di dunia baru bukan hanya ada sekadar hitam dan putih, tetapi juga ada zona abu-abu yang meragukan (syubhat) tidak jelas benar atau salah, baik atau buruk. Dan mungkin pula tidak jarang kita akan menemukan dilema antara nurani dan perintah. Ya memang tak seindah sentuhan mata. Semua itu dapat menggerogoti kokohnya prinsip yang kita bangun sebagai manusia idealis saat berhadapan dengan realita kehdupan dunia nyata jika pondasi yang dibangun tak setegar karang menghadapi dahsyatnya deburan ombak dan tak seperti rerumputan yang akarnya tetap menancap pada tempatnya walaupun daunnya bergoyang menari fleksibel tertiup angin.

Saya teringat sebuah puisi karya Salim A. Fillah di buku Jalan Cinta Para Pejuang (salah satu buku favorit saya)

Di lautan nikmat dua makhluq berpisah

Yang satu tenggelam yang satu menyelam

Kau tau apa bedanya?

Jawaban atas pertanyaan dalam puisi tersebut adalah “kesadaran”. ya kesadaran yang membuat sipenyelam mempesiapkan segala perlengkapan dan peralatan yang dia butuhkan untuk menikmati keindahan bawah laut. Dengan kesadaran ia bisa tetap bernafas menghirup oksigen dalam tabungnya. Dengan kesadaran ia dapat melihat dengan jelas dalam remang-remang cahaya. Dengan kesadaran ia dapat bergerak leluasa diantara penghuni laut. Berbeda dengan makhluq yang tenggelam. Ia lalai, terjun kedalam lautan tanpa persiapan. Nafasnya sesak tak bisa bernafas. pandangannya kabur tak jelas melihat. Geraknya tak beraturan tak tenang. Jelas ia tak bisa menikmati keindahan panorama bawah laut yang memesona.

Ya, begitulah kisah mereka yang (semoga) menjadi hikmah bagi kita untuk menyiapkan bekal untuk menyongsong dunia baru. Dalam derasnya arus kehidupan, cara untuk dapat bertahan adalah dengan tetap bergerak. Bergerak untuk berusaha dan berupaya memperbaiki bangsa ini yang telah lama terpuruk oleh kejahilan tangan-tangan yang tak senang bangsa ini berkembang, tak suka akan kemajuan bangsa ini. Tentu saja hal ini di mulai dari diri kita sendiri. Siapakah yang akan mengubahnya jika bukan kita sendiri putra-putri pewaris negeri? Alloh azza wa jalla berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.s. 13; 11)

Ya.. amanah itu ada di pundak kita, pundak para pemuda-pemudi pewaris negeri. Mungkin bagi kita lebih spesifik lagi, di pundak para punggawa keuangan Negara. Amanah untuk tak sekadar mengarahkan, tetapi juga menjadi motor penggerak yang membawa bangsa ini pada perbaikan dan kemajuan.

Tentu saja itu hal itu bukan sesuatu yang mudah, kita memerlukan dukungan dan sokongan agar tetap berada dijalan kebenaran karena seperti perkataan ali r.a.  “ kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir”. (redaksional aslinya saya tidak ingat).  Kita memerlukan jaringan cinta dan ukhuwah yang tertata rapi agar dapat saling mengingatkan, menguatkan dan mendo’akan.

Ketika berhadapan dengan keraguan, maka rosulullah S.A.W. pernah bersabda:

“mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah pa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan membenarkanmu.” (H.r. Muslim)

Ya, seperti kata Salim A. Fillah “hati yang bicara tanpa kata, menjawab tanpa suara, dan sering menyengat tanpa terlihat. Tapi ia terasa. Sebab, dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. Dari sanalah amal-amal dan segala proses kehidupan kita menapakan pijakannya berupa niat dan tekad.” Semoga hati-hati kita merupakan hati yang bersih dan bebas tidak terkukung oleh jeruji berkarat yang membelenggu hati karena maksiat yang dilakukan berulang-ulang tanpa taubat. Hati yang bersih akan menyuarakan nurani yang bersih pula. Sementara jika ia terbelenggu yang terdengar mungkin hanyalah getaran jeruji pembelenggu hati yang menggema karena teriakan hati yang hampir mati. (na’udzubillah).
 Rekan-rekan pejuang, dalam mewujudkan ini semua, sekali lagi, tidaklah mudah, dan tidak bisa instant. Perjuangan kita bukan hanya berhenti sampai disini. Perjuangan kita masih panjang tak sekadar bongkah batu karang. Tapi

yakinlah wahai saudaraku

kemenangan kan menjelang

walau tak kita hadapi masanya

tetaplah al_haq pasti menang

(jalan juang: izzis)

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Q.s. 3; 200)

Maraji’: Salim A. Fillah. 2008. Jalan Cinta Para Pejuang

1 komentar: