Ada sedikit kisah menarik yang cukup unik untuk di tilik dengan segala pernak-pernik yang membuatku sedikit tergelitik dan ingin memberikan kritik bukan sekantung keripik apalagi seekor itik (halaaah…). Apa itu?
Ini sepenggal kisah yang ku alami dalam mengurus pemberkasan CPNS, tepatnya mengurus SKCK (Surat Catatan Cinta Kepolisian) eh (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) mau di bikin (Surat Keterangan Cinta KPK) juga boleh. SKCK yang menjadi salah satu syarat pemberkasan mungkin menjadi yang paling ribet karena harus melalui tahapan birokrasi yang berlapis-lapis dari Rt, Rw, Kelurahan, Kecamatan, baru dapat diproses di Kepolisian.
Birokrasi di Negara kita yang mungkin bisa dibilang masih belum sampai pada tahap good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dan mengingat indeks persepsi korupsi Indonesia yang masih cukup rendah yaitu mendapatkan skor 2.8 (naik dari 2.6) yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke 5 di Asean tepat di bawah Thailand dan posisi ke 111 dari sekitar 160 negara, sulit untuk dihindari muncul dipikiran saya (mungkin dipikiran anda juga) bayangan tentang berbagai pungutan dalam melewati tahapan birokrasi. Terlebih lagi mendengar berbagai cerita dari teman-teman yang sudah mengurus SKCK lebih dulu. Astaghfirullohal ‘adzim (udah su’udzon duluan).
Aku langsung saja ke kelurahan, mencoba untuk memotong jalur birokrasi Rt/Rw seperti yang telah dilakukan oleh rekan seperjuangan. Sesampainya disana, rupanya tetap saja harus ada surat pengantar dari Rt/Rw. “Terjun” saya langsung mencoba menemui Rw (Rumahnya berada di bawah kelurahan), tetapi mungkin memang belum waktunya untuk bersilaturahim. Beliau tidak ada di tempat, sedang memenuhi undangan. Balik lagi ke kelurahan dengan harapan bisa langsung dip roses. Tetapi masih belum bisa juga, “coba ke ketua Rtnya mas” begitulah kira-kira katapetugas di sana. Okelah kalo begitu, ngebut menuju TKP, tapi lagi-lagi orang yang dituju sepertinya tidak ada di tempat. Ucapan salam berkali-kali pun tak ada jawaban. Ngebut lagi menuju kelurahan dengan sangat berharap surat pengantar dari kelurahan bisa di proses.
Alhamdulillah, kepala Lurah (eh apa namanya ya?) sangat pengertian. “ya sudah dari pada masnya bulak-balik, kita saling tolong menolong saja. Surat pengantar akan dibuatkan, tapi besok harus ke sini lagi bawa surat pengantar dari Rt/Rw” begitulah kata lelaki tua yang terlihat berwibawa dengan gaya bahasa serta kilauan putih rambutnya. Wokeeeey… Bos…! (ga ngomong gitu sih). Setelah dapat surat pengantar, saya ucapkan terimakasih dan langsung pergi meninggalkan TKP. Tak ingin bertanya “ada biaya administrasinya pak?” Dan ternyata, Alhamdulillah. Tidak di pungut biaya sepeserpun. Alhamdulillah, kali ini kecurigaan saya tidak terbukti.
Ingin segera menyelesaikan persyaratan hari itu juga, langsung pengangguran terselubung ini “tancap gas” ke kantor kecamatan yang letaknya jauuuuuuuuuuh bangets dari kantor kelurahan. Perjalanan ke sana harus 3 kali berganti angkot dengan biaya Rp 2000,00 masing-masing.
Puluhan menit berlalu dan akhirnya sampai juga di kantor kecamatan yang terletak di sebuah jalan kecil. Besarnya tak beda jauh dengan kantor kelurahan. Ku temui petugas yang berada di dekat pintu masuk lalu beliau menunjukan tempat untuk mendapatkan sebuah bubuhan tanda tangan di bawah kata “mengetahui”.
Sambil menunggu proses (ehm, jdi inget sesuatu kalo ngomongin proses :p), pria lajang berusia hampir 23 tahun ini duduk di ruang utama sambil melihat-lihat sekeliling. Ada hal yang menari perhatian saya. Pada sebuah dinding bercat kuning di sebelah kiri tepat di dekat pintu masuk ruang utama tergantung sebuah poster yang bertuliskan “Melayani adalah kewajiban kami Meminta/menerima imbalan adalah korupsi” Wah… luar bisaa, rupanya kacamatan ini sudah mulai berbenah pikir saya. Tapi ternyata eh ternyata setelah kudapatkan sebuah tanda tangan dan cap dari pemimpin kantor tersebut. Sang ibu petugas berkata kira-kira “biaya administrasinya berapa aja” Jleb.. ngik.. tuing tangtingtung, wok, serrr….duaaarrrr… kekaguman saya terhadap integritas kantor itu mulai luntur terbasuh oleh kata-kata “biaya administrasinya berapa aja”.
Sungguh rasanya ingin tersenym miris, ah mungkin hanya su’udzon saja, mungkin memang benar ada biaya administrasi untuk hal semacam ini. Lalu dengan wajah ramah dihiasi sedikit senyuman saya bertanya
“ untuk apa ya bu”
“untuk setoran kas”
“oh, kalo begitu saya minta bukti validasinya ya Bu”
“validasi apa”
“mungkin semacam kwitansi atau apa”
“kalo ga mau ngasih ya udah, ga usah pake nanya segala”
Begitulah kira-kira percakapan saya dengan petugas di kantor kecamatan tersebut (redaksinya mungkin tidak persis seperti yang saya tulis di atas). Laki-laki berjaket dengan tulisan “melangkah penuh makna berlari penuh arti” ini pun pergi tanpa mengeluarkan “titipan” tapi menyisakan berbagai tanda tanya dalam pikirannya.
Masih teringat sebuah poster yang tergantung tadi dengan ilustrasi seorang pegawai yang sedang duduk di kursinya dengan uang pecahan seratus ribu berserakan di lantai dekat mejanya. Tidak adakah pengaruh poster tersebut? Apakah petugas tak pernah melihat/membacanya? Ataukah poster tersebut hanya dijadikan hiasan dinding? Ah, malang nian kau poster… kehadiranmu terlupakan, peranmu tersingkirkan, esensimu terabaikan. Apakah tak pernah ditanya hati nurani yang bersemayam dalam dada?
“mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah pa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan membenarkanmu.” (H.r. Muslim). Entahlah..
Hal ini membuatku teringat kembali akan sebuah kisah klasik yang diceritakan seorang dosen waktu kuliah dulu. Kira kira begini. “Jaman dulu, sulit untuk tidak mencari sumber dana lain, karena jika hanya mengandalkan dana dari pemerintah, akan sulit bahkan untuk membiayai operasional kantor”. Lalu apakah hal ini masih terjadi saat ini? Tidak cukupkah anggaran yang di alokasikan pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada warga negaranya sehingga harus meminta setoran kas untuk sebuah bubuhan tanda tangan di bawah kata “mengetahui”? entahlah…
Tentunya budaya, eh, bukan budaya deng, karena kata dosen Budaya Nusantara, “budaya itu sesuatu yang bernilai tinggi”, maka sungguh tak pantas jika warisan penjajah yang buruk itu di kategorikan sebagai “kebudayaan”. Jadi mari kita sebut saja kebiasaan buruk peninggalan para penjajah yang merusak nilai-nilai luhur bangsa ini dengan “kebuayaan” (tanpa maksud menyinggung siapapun). Walaupun sudah dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat, tetapi Kebuayaan yang sudah berangsung berabad-abad ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus menerus. Karena WAJAR BELUM TENTU BENAR. Karena kebenaran hakiki bukanlah berasal dari kesepakatan tapi berasal dari Ilahi Robbi yang juga ternanam dalam nurani.
Saya jadi teringat kembali konsep yang diajarkan dosen etika profesi mengenai “LEGAL” dan “ETIS” ada yang Legal dan Etis, Legal tapi tidak Etis, tidak Legal tapi Etis, dan yang paling parah Tidak Legal dan Tidak Etis. Hayo… masih inget ga? Sebuah konsep yang menawarkan cara dalam bersikap mengahdapi kebiasaan di kalangan birokrat yang sebenarnya tidak hanya terikat dengan undang-undang tetapi juga oleh etika. Sejauh mana dapat berpegang pada prinsip Etis walaupun ada jaminan kelegalan dan sejauhmana dapat menghindari yang tidak legal walaupun terkesan etis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar