“Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan.”
Sebuah rangkaian kata yang menghujam dada menyadarkan jiwa ketika kata demi kata itu kubaca. Ini bukan kisah tentang cinta Qois ibn Syed kepada Laila (laila majnun) yang bertransformasi menjadi kegilaan, bukan pula kisah cinta tentang Romeo dan Juliet yang berakhir pada kematian dalam kekonyolan. Ini bukan tentang kisah cinta yang lemah karena posisi jiwa yang salah. Ini tentang kisah cinta seorang pejuang di jalan cinta para pejuang. Ini kisah tentang Cinta ‘Ali r.a. kepada Fatmah az-zahra putri dari manusia terbaik sepanjang zaman, Nabi Muhammad SAW.
Berikut kisah yang di ambil (sedikit diringkas) dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah (bagian Mencintai Sejantan ‘Ali) salah satu buku favorit saya.
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta ketika Fatimah, karib kecil yang tumbuh bersamanya, puteri tersayang Muhammad Bin Abdullah yang adalah sepupunya itu sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya yang luar biasa. Tapi, ia memang tersentak ketika mendengar kabar yang paling mengejutkan. Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling dekat dengan Rosululloh SAW. Abu Bakar Ashiddiq.
Sungguh ini merupakan ujian bagi Ali karena merasa apalah artinya ia dibanding Abu Bakar. Kedudukannya disisi nabi? Abu Bakar lebih Utama, keimanan dan pembelaanya pada Alloh dan RosulNya tak tertandingi
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. Dari segi dakwah, lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan dakwah Abu Bakar; Utsman, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair, Mush’ab, lihatlah pula betapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu bakar; Bilal, Keluarga Yasir, Khabbab. Dan siapa budak yang dibebaskan oleh Ali?
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
“Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian atau mempersilakan, yang ini pengorbanan”
Rupanya Harapan yang sempat layu itu kembali muncul, lamaran Abu Bakar ditolak. Dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Tapi ah, rupanya ujian itu belum berakhir, setelah Abu Bakar mundur, kini Fatimah dilamar oleh seorang lakui-laki yang gagah perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang lelaki yang membuat syaithan berlari dan musuh-musuh Alloh bertekuk lutut. Umar Ibn Al Khattab.
Ali sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi Fatimah binti Rosululloh! Tidak, Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridho.
“Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebagahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian atau mempersilakan, yang ini pengorbanan”
Maka ‘Ali bingung ketika menyeruak kabar bahwa lamaran Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki nabi? Apakah seperti Utsman sang miliader? Atau seperti Abul ‘Ash ibn Rabi’ sang saudagar Quraisy? Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, samg pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d Ibn ‘Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” kalimat teman-teman ansharnya membangunkan lamunan”
“aku?” tanyanya tak yakin
“ya, engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin, apa yang bias kuandalkan?”
“Kami dibelakangmu kawan, semoga Alloh menolongmu”
‘Ali pun menghadap sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginan untuk menikahi Fatimah. Ya, menikahi. Ia tahu secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu MEMALUKAN. Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat KEKANAKAN. Usianya berkepala dua sekarang,
“Engkau pemuda sejati ‘Ali”, begitu kata nuraninya mengingatkan.Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikiul risiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Alloh Maha kaya.
Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan”. Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Subhanalloh, lamarannya di terima.
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Denagn menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi nabi bersikeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Inilah jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini cinta tak pernah memintak untuk menanti. Seperti ‘Ali, Ia mempersilakan atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan dan yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mengecap keduanya.
Subhanalloh, kisah ini begitu menggugah jiwa yang lemah, menyadarkan sebuah kerinduan, membangkitkan keberanian, menguatkan keyakinan akan janji Ar-Rahman.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Qs. An-Nur : 32
Ya Rahiim, aku sangat mengharapkan pendamping disisiku,
yang dengan kemuliaan akhlaknya aku bersyukur sehingga tak ada lagi celah bagi pengingkaran.
yang dengan kebijaksanaannya mengingatkanku sehingga tak ada lagi lubang kealpaan.
yang dengan pesona dan kelembutannya membahagianku sehingga tak ada lagi ruang bagi kesedihan.
yang dengan kesabarannya menguatkanku sehingga kehidupan ini penuh dengan keta'atan.
ya Karim, karuniakan kepadaku pendamping yang aku mencintainya dan dia mencintaiku dan kami saling mencintai karena Mu dan Engkau pun mencintai serta meridhoi kami.
Ya Ghafur, aku tahu bahwa dosaku bagaikan gunung yang menjulang tinggi, tapi aku juga tahu bahwa Rahmat serta ampunan Mu lebih luas dari langit. ampunilah segala dosa-dosaku dan kabulkanlah do'aku. sesungguhnya tak ada yang dapat mengabulkan do'a-do'a kami kecuali Engkau Robb semesta alam.
Amin ya Mujibassa’ilin
hmm...kek mas mamat
BalasHapusmamat? -anis matta- ?
BalasHapusbetul-betul-betul...
uhuk uhuk
BalasHapuswaduuh, batuk ya mas...
BalasHapussilakan minum dulu...
eh mas mamat dateng :P
BalasHapusOh, mas mamat yg ini kah yang di maksud kunichiro?
BalasHapusmenanti penjelasan dari kunkun
BalasHapusya iya lah...yang bilang mas imam loooh...
BalasHapus=D
BalasHapusbikin ketawa poin itu